Refleksi atas Asal-Usul Republik Desa Ponggok, Klaten

oleh ; Anom Surya Putra

Asal-usul Ponggok berawal dari kawasan Desa-desa masa Mataram Kuno (Wanua) yang didalamnya menyimpan air yang melimpah. Kondisi arkeologis kawasan Ponggok berada di timur Gunung Merapi, kawasan Sanggrahan, satu rangkaian peradaban Shiwa-Buddha.[1]
Ponggok bermakna pusat, inti, sumber, jantung, nunggak semi, kelestarian yang berkaitan dengan sumber air, sumber air yang tidak pernah habis, bermanfaat untuk meditasi dan sepuh tosan aji (senjata pusaka), dan penyembuhan bagi kuda atau kerbau (sato kewan lan raja kaya; Jawa) yang sakit. [2] Suhirto, pengelola homestay BUM Desa Tirta Mandiri, berupaya mengingat masa lalu, tempat didekat Umbul Ponggok pernah digunakan untuk memandikan kuda yang sakit, lalu sehat kembali.

Mulyadi, Jadi, dan Adi pegiat Pokdarwis di lokasi Umbul Sigedang-Kapilaler menuturkan kepada peneliti, di Umbul Sigedang-Kapilaler Desa Ponggok pernah ditemukan benda-benda arkeologis seperti arca-arca.[3] Temuan arca-arca tersebut diperkirakan merupakan peninggalan masa Majapahit atau Mataram Kuno mengingat kesejarahan Desa-desa masa itu (Wanua) bertebaran artefak candi-candi Shiwa. “Benda-benda arkeologis itu sudah dibawa petugas purbakala ke Prambanan atau tempat lain,” imbuh Junaedhi Mulyono, Lurah
Kepala Desa Ponggok.

Dari informasi arkeologis dan naskah-naskah kuno dapatlah ditentukan asal-usul Desa
Ponggok bermakna sebagai lokasi air yang melimpah dari dalam bumi dan mengalir dari
Gunung Merapi sebagai salah satu pusat kosmologi Jawa. Posisi Ponggok di bagian timur
Merapi identik dengan kosmologi Jawa yaitu Pon yang mengandung unsur air bila kita lihat
pada peta digital wilayah Ponggok tahun 1925 yang dirilis oleh Universitas Leiden.[4]

Aliran air merupakan berkah bagi Desa tetapi juga objek kolonialisasi oleh perusahaan gula
Hindia-Belanda. Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 menerapkan
sistem kultivasi atau budi daya (cultuurstelsel; tanam paksa) yang mengkoloni tanah di Desa-desa
pulau Jawa untuk ditanami komoditi ekspor seperti kopi dan tebu. Kolonisasi Eropa
berakibat pada tergerusnya hak asal-usul Desa yaitu terhapusnya tanah lungguh sejak masa
Pakualam V pada tahun 1877 di Surakarta dan terdesak oleh ekspansi Eropa ke perkebunan
di Desa-desa.[5]

Pada tahun 1880an komunitas-borjuis di Hindia Belanda menuntut privatisasi usaha
perkebunan dan perdagangan. Sumber daya air yang melimpah di Ponggok tak luput dari
kolonisasi dan privatisasi air untuk sumber pengairan tanaman tebu, pemeliharaan kuda,
pendirian perkantoran perusahaan gula atau olah tebu di dekat Umbul Ponggok (sekarang
menjadi bagian dari bangunan sekolah dasar negeri Ponggok), perkantoran (lodge;
masyarakat Jawa menyebutnya loji), dan jalur rel kereta pengangkut tebu.

Hasil eksploitasi gula dari Desa-desa di Jawa disedot ke Eropa hampir mencapai 300 juta
gulden. Keluarga Dezentje mengelola kepemilikan personal dari pabrik-pabrik gula
(pengolah tebu) di wilayah Karanganom, Ponggok, Prambonan pada periode 1880-
1930an.[6] Rumah loji bermakna rumah kaum borjuis Belanda yang juga terdapat di
Surakarta, tempat keluarga borjuis Dezentje mengendalikan pabrik gula dan sewa-tanah
sepanjang Karanganom, Ponggok, sampai Ceper.

Mbah Simak (Waliyem), warga Desa Ponggok asal Magersari, kurang lebih pada tahun
1920-1930an menikah dengan warga Indo-Belanda yang bekerja di perkantoran administrasi
pabrik gula di sekitar Ponggok, lalu ditinggal pergi oleh suaminya ketika krisis pabrik gula
1930an. Ini menandai hubungan-hubungan keperdataan antara warga Ponggok dengan dunia
luar sudah terjalin sejak akhir abad ke-19. Tak heran bila di Ponggok pernah dijumpai warga
Eropa atau negara lainnya yang mencari keturunannya atau sekedar berlibur ke sekitar
Umbul Ponggok.

Kalangan borjuis Hindia-Belanda yang menghisap Ponggok secara struktural melalui
kebijakan pajak pada bulan Mei tahun 1918 mengalami gerakan penolakan pajak kolonial.
Insulinde, Partai Indo-Eropa yang radikal, dan Haji Misbach (Serikat Islam Merah; Muslim-
Komunis) pada awal abad ke-20 mengorganisir petani-petani di Banyudono, Ponggok,
Delanggu, dan Kartosuro untuk mogok menolak pajak kolonial. Gerakan petani ini ditumpas
kolonial Belanda pada tahun 1920an.[7]

Sebelum krisis manajemen pabrik gula pada tahun 1930an Umbul Ponggok mengalami
kolonisasi secara tidak langsung oleh negara-kolonial melalui kekuasaan Kamantren distrik.
Kangjêng Radèn Adipati Sasradiningrat menyampaikan Undhang-undhang Pranatan,
Sasradiningrat IV, 1895-1910, tertanggal 9 Oktober 1905 bahwa Kamantren distrik di
Koewel (Kuwêl; Klathèn) yang semula membawahi distrik Ponggok berubah nama menjadi
Kamantren distrik di Polanharjo. Kawasan Umbul (mata air) Ponggok berada dibawah
kekuasaan administratif distrik Polanharjo. Kraton menyatakan bahwa Umbul tidak boleh
dirusak atau dipugar tanpa ada perlunya kecuali ada perintah dari negara.

Soepomo pada tahun 1927 menulis disertasi tentang hak adat atas tanah dan reorganisasi
agraria di Surakarta periode 1900-1920an,[8] bertepatan dengan Pabrik Gula Ceper
membangun dan mengelola irigasi yang memanjang dari sumber air Kapilaler yang berada di
Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo hingga Kecamatan Ceper.[9] Sumber air Kapilaler
merupakan wilayah sakral karena menjadi lokasi peribadatan masa Mataram Kuno dan
Majapahit berdasar temuan artefak Shiwa-Buddha.

Soepomo mengkritik praktik hukum Eropa yang menanamkan liberalisasi, sewa-tanah, dan
kepemilikan individual sehingga kepemilikan kolektif tanah berdasar Adat-Hukum di
Surakarta menjadi rusak tatanannya. Soepomo mengusulkan sistem manajemen irigasi yang
bersifat privat bergeser pada institusi publik tanpa merugikan kepentingan petani. Resikonya
yaitu ketika manajemen irigasi bersifat publik maka pemerintah kolonial langsung memungut
pajak atas pengelolaan irigasi.

Kritik Soepomo yang diuraikan dimuka relevan bagi situasi Ponggok waktu itu yang masih
berkarakter Republik Desa kolektivistik tetapi berangsur menjadi monolitik. Mbah Juwadi
dan Suhirto mengisahkan sejarah organisasi pemerintahan Desa Ponggok.[10] Kisah dari
Juwadi dan Suhirto memperlihatkan jejak-jejak Adat-Hukum Republik Desa Ponggok.
Republik Desa Ponggok bersifat monolitik karena dikolonisasi oleh negara-kolonial, meski
organisasi masyarakat berpemerintahan pada waktu itu masih ada yaitu lurah, carik (abdi
dalem kraton bernama Sastraangsoka wafat pada tanggal 21 Maret 1922), Ulu-ulu (pengatur
air), dan Bayan(pengorganisir warga untuk melakukan gotong-royong).

Desa Ponggok secara administratif terbentuk meliputi dukuh Ponggok, Jeblongan, Kiringan,
dan Umbulsari. Berturut-turut lurah disandang oleh Amat Sumangun, R. Karto Hudoyo, Jinu
Sastro Mulyono (sekitar 1965-1988), Sunarta (1990-2007), dan Junaedhi Mulyono (2007-
2019). Diluar sejarah administrasi terdapat cungkup makam Kyai Mursyid di sarean wetan,
asal Bayat Klaten, yang memiliki aura spiritual amat tinggi. Beberapa dalang sempat semadi
di tempat ini sebelum pentas semalam suntuk. Makam tersebut masih dirawat oleh organisasi
pemeliharaan makam di Desa Ponggok.

Pada era tahun 1920an Ulu-ulu masih eksis mengatur air diluar otoritas Kamantren yang
mengatur Umbul Ponggok. Tahun 1970-an Ulu-ulu diemban oleh Hadi Prajitno. Wakimin,
warga Desa Ponggok, terhitung masih keturunan Ulu-ulu, begitu pula Jamiyatun yang kini
aktif di Posyandu. Mbah Pasrah menyandang sebagai carik sepuh dan berturut-turut Suharno
hingga Yani Setiadi (Carik Desa). Winosurip, warga Desa, dulu aktif sebagai Bayan yang
bertugas mengajak warga melakukan gotong royong, meskitpun tugas pengumuman gotongroyong
kini diemban oleh RT dan RW sebagai lembaga kemasyarakatan Desa.

Situasi paling kejam pernah dirasakan warga Ponggok pada masa pendudukan Jepang, kata
Mbah Juwadi, rakyat kelaparan sehingga yuyu (semacam kepiting) dimakan oleh warga.
Pada masa prahara politis Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu), rakyat desa Ponggok
yang nasionalis menjadi korban disinformasi isu komunisme Partai Komunis Indonesia
(PKI), sehingga masjid Rahmat di Desa Ponggok menjadi tempat perlindungan warga Desa
Ponggok yang tidak tahu menahu urusan PKI. Konteks kisah ini menunjukkan bahwa
mobilisasi petani di Desa yang direpresentasikan oleh karya Aidit dalam “Kaum Tani
Mengganjang Setan-setan Desa” yang terbit pada tahun 1964[11] gagal karena kepala Desa
yang bukan kader PKI dinilai sebagai salah satu unsur Setan Desa. Kepala Desa diposisikan
oleh Aidit sebagai individu yang terpisah dari kesatuan masyarakat organik di Desa. Pada
konteks demikian karya penelitian Aidit hanya berumur satu tahun karena aksi-aksi PKI
berbasis Marxisme-Leninisme yang dogmatis gagal memperoleh legitimasi dari kalangan
petani maupun Desa secara organik.

Pada era tahun 1920an organisasi Adat-Hukum masih eksis diluar otoritas Kamantren, tetapi
berangsur surut akibat penyeragaman melalui keberlakuan empiris Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sistem penguasaan mata air (Umbul Ponggok)
berubah pula pada masa kemerdekaan. Nasionalisasi atas seluruh aset-aset kolonial
berdampak pada pergeseran peran Kamantren yang semula menangani Umbul Ponggok
hingga berpindah tugas kepada Pak Mantri Wignjo. Pak Mantri merupakan sebutan lokal
untuk warga yang ditunjuk untuk mengatur Umbul Ponggok. Pak Mantri Wignjo masih
tunggal guru lelaku dengan mbah Wuri, Harso, dan Sogol dari desa Kajen. Perawatan Umbul
Ponggok selanjutnya dilakukan oleh Harjo Prawiro, petugas berstatus pegawai negeri. Mas
Wito, cucu pak Mantri Wignjo, saat ini aktif mengelola BUM Desa Tirta Mandiri,berpenampilan eksentrik dengan rambut putih panjang dan cekatan menjelaskan kepada tamu tentang pengelolaan Umbul Ponggok, pemandian Ciblon, dan potensi Desa Ponggok lainnya.

Dari rangkaian sejarah kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal
berskala lokal Desa Ponggok dapatlah disimpulkan bahwa hak asal usul Desa Ponggok pada
awalnya mempunyai tradisi, personalitas-kolektif, dan solidaritas dalam mengelola sumber
daya air pada skala lokal Desa.

Desa Ponggok berubah menjadi Republik Desa monolitik akibat kolonisasi yang dilakukan
kolonial melalui privatisasi pabrik gula dan pengelolaan Umbul Ponggok dan Umbul
Sigedang-Kapilaler.Kolonisasi atas Desa Ponggok terjadi pula pada pasa Orde Baru melalui penyeragaman Desa sejak tahun 1979.

Umbul Ponggok yang saat ini dikelola oleh BUM Desa Tirta Mandiri pada
masa kolonial berada dibawah regulasi antara pihak kraton dan pemerintah kolonial melalui
otoritas Kamantren. Umbul Ponggok tidak terawat pada masa pasca kemerdekaan mungkin
karena rentang kendali pemerintah provinsi yang terlalu jauh dengan lokasi Ponggok di
Klaten.

Dari problem kewenangan Desa ini bisa dipahami bahwa belum adanya praksis daftar
kewenangan berdasar hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa yang disepakati
antara Pemerintah Desa Ponggok dan supra Desa berkaitan dengan tindakan revitalisasi
umbul bersama BUM Desa sepanjang tahun 2009-2015.

Problem ini tak tertutup kemungkinan akan kembali berulang pada kasus revitallisasi Umbul
Sigedang-Kapilaler yang dikelola kelompok sadar wisata di Ponggok bahwa setelah praktik
pengelolaan umbul tersebut berhasil menggerakkan semangat kolektif warga Desa maka
pemerintah supra Desa hadir memasalahkan status badan hukum kelompok sadar wisata
tersebut. UU Desa menyediakan kaidah-kaidah hukum rekognisi terhadap lembaga
kemasyarakatan Desa yang mengelola wisata Umbul Sigedang-Kapilaler.

Legitimasinya cukup melalui Musyawarah Desa untuk membahas dan menyepakati lembaga
kemasyarakatan Desa Ponggok, dan AD/ART bisa ditetapkan dengan Keputusan Kepala
Desa.

Legitimasi hukum publik atas organisasi/lembaga kemasyarakatan di Desa belum trending
pada periode 2014-2019, tetapi saya perkirakan akan marak pada tahun-tahun mendatang
seiring dengan mengembangnya partisipasi warga Desa.

Naskah ini adalah cuplikan dari penelitian sosiologi hukum yang dilakukan oleh peneliti. Bila Anda berkenan menyebarluaskan tulisan sederhana ini, silahkan mengutip sumber tulisan dengan
mencantumkan link blog ini. Anda tentu bisa melengkapi tulisan singkat ini dengan data,
fakta, dan analisa rasional-komunikatif yang bermanfaat bagi Restorasi Republik Desa
Ponggok. ***

[1] N.J. Krom, Inleiding tot de Hindoe-Javaansche Kunst, Eerste Deel, („S-Gravenhage: Martinus Nijhoff,
1920), hlm. 317-8.
[2] Wawancara dengan Mpu Basuki Teguh Yuwana, Boyolali, 20 Juni 2018.
[3] Wawancara dengan Mulyadi, Jadi, dan Adi, Umbul Sigedang-Kapilaler, Klaten, 19 Juli 2018.
[4] Peta digital wilayah Desa Ponggok masa kolonial diperoleh dari situs Leiden University Libraries,
http://maps.library.leiden.edu/cgi-bin/iipview?krtid=929&name=04911-1.JPG&marklat=-
7.6268&marklon=110.878&sid=823sds4560524&seq=2&serie=0&lang=1&ssid=&resstrt=0&svid=330278
&dispx=289&dispy=189#focus, diakses pada tanggal 9 Agustus 2018.
[5] Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912-1926, diterjemah oleh Hilmar
Farid dari judul asal An Age in Motion: Popular Radicalisme in Java 1912-1926 (New York: Cornell
University Press, 1990). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 17.
[6] Roger Wiseman, Three Crises: Management in the Colonial Java Sugar Industry 1880s-1930s, Thesis
submitted to satisfy the requirements of Doctor of Philosophy, (University of Adelaide, Department of
History, July 2001).
[7] Takashi Shiraishi, op.cit., 172.
[8] Upik Wira Marlin Djalins, “Subjects, Lawmaking and Land Rights: Agrarian Regime and State
Formation in Late-Colonial Netherlands East Indies,” A Dissertation Presented to the Faculty of the
Graduate School of Cornell University in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor
of Philosophy, 2012, hlm. 126-179.
[9] Wahyu Indriastuti dan Mohammad Muktiali, “Commons Dilemma pada Pengelolaan Daerah Irigasi
Kapilaler, Kabupaten Klaten,” Jurnal Wilayah dan Lingkungan, Volume 3 Nomor 2, Agustus 2015, 105-
120, diakses pada tanggal 1 Juli 2018 melalui http://dx.doi.org/10.14710/jwl.3.2.105-120.
[10] Wawancara dengan Mbah Juwadi dan Suhirto, 9 Agustus 2018.
[11] D.N. Aidit, Kaum Tani Mengganjang Setan-Setan Desa: Laporan singkat tentang hasil riset
mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani Djawa Barat, (Djakarta: Jajasan “Pembaruan”, 1964).

0 Komentar